Senin, 26 Maret 2012

KENAIKAN BBM

Kenaikan BBM ( Bahan Bakar Minyak ) yang akan diberlakukan pada tanggal 01 April nanti,membawa dampak buruk bagi masyarakat Indonesia.Terutama masyarakat kecil yang sehari-hari sangat bergantung pada BBM tersebut.Contohnya saja untuk kendaraan umum yang biasanya dipakai para pekerja ataupun pelajar.Yang otomatis,biaya pengeluaran mereka pun bertambah.Apalagi jika para pengguna yang berpenghasilan cukup bahkan dibawah.Tidak hanya kendaraan umum,tetapi harga sembako yang akan naik lagi.Dan pasti para pekerja akan demo lagi,yang akan meminta upah mereka naik.Karena ‘Lebih besar pasak Dibanding Tiang’.Sembako saja sudah naik dua bahkan tiga kali lipat daritahun kemarin.Tidak menutup kemungkinan angka kemiskinan akan bertambah pula.Karena bila dipikir-pikir harga sembako dan BBM saja tidak bisa mengurangi angka kemiskinan di Indonesia,apalagi jika dinaikkan berkali lipat.Apakah dengan adanya kompensasi yang diberikan pemerintah terhadap rakyat kecil bisa menjamin akan berkurangnya angka kemiskinan di bangsa kita ini ?
Karena jika kita lihat beberapa pemberitaan dan kasus kebelakang banyak koruptor-koruptor besar yang memakan uang rakyat.Bahkan bukan hanya koruptor-koruptor besar,tetapi pasti juga ada koruptor-koruptor kecil,yang akan menjadi koruptor-koruptor besar.Tidak menjamin juga kompensasi yang akan diberikan kepada rakyat kecil,akan benar-benar dirasakan oleh rakyat kecil.Contohnya saja,BLT ( Bantuan Langsung Tunai ) dan Raskin (Beras Miskin ).Yang saya lihat pada akhirnya malah berantakan,dan dimakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.Pada kenyataanya sebenarya mereka perantara yang dipercayakan mewakili rakyat kecil.
Kenaikan harga BBM yang ditenggarai sebagak efek dari krisis global, dan imbas penerapan sanksi embargo terhadap Iran oleh Uni Eropa dan Amerika. Melonjaknya harga BBM tidak tepat dari beberapa aspek. Pertama dari segi ekonomi, Pemerintah beralasan Inflasi tidak dapat dihindarkan agar kas Negara tidak jebol untuk relokasi subsidi BBM. Hal ini sangat kontras dengan keadaan yang ada, karena jika BBM naik maka harga sehari-hari kebutuhan rakyat akan melambung tinggi. Sudah dapat dipastikan jika cost produksi bertambah dan berakibat kebutuhan juga ikut merangkak naik maka yang sudah pasti menjadi korban adalah mayoritas masyarakat kecil 61,24% dari total penduduk Indonesia. Bahkan dapat dipastikan kenaikan ini membuat hancur segi-segi ekonomi, Jika Cost Produksi bertambah maka perusahaan yang tidak sehat secara financial, UKM, dan Home Industri lainnya akan koleps dan memicu PHK besar-besaran.
Kedua dari segi hukum, Kebijakan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis premium yang sedianya akan diberlakukan pada awal April 2012 menunjukkan bahwa pemerintah telah melakukan pelanggaran konstitusi. Pasalnya, dalam klausul 7 ayat 6 Undang Undang APBN 2012 menyatakan bahwa harga eceran BBM tidak naik. Melakukan perubahan APBN tidak cukup dalam 1 bulan. Apalagi ini termasuk hal yang sangat krusial, terlebih menyangkut aspirasi masyarakat yang harus disesuaikan dengan prioritas kerja dan kapasitas keuangan yang ada. Jadi, kebijakan menaikkan BBM ini kan sebenarnya hanya satu bagian dari keseluruhan regulasi BBM kita.
Membunuh Keadilan

Di manapun, negara hadir untuk menebar kesejahteraan dan keadilan. Setiap negara, harus punya dua tangan (baca kebijakan). Tangan pertama dipakai untuk mencabut proteksi, mengurangi pajak orang kaya, mengetatkan anggaran, dan meminta bantuan (utang) internasional apabila diperlukan.

Sementara tangan kedua digunakan untuk menjamin terdistribusinya akses bagi kebutuhan dasar rakyat miskin, menguatkan daya saing pengusaha nasional, dan memberi insentif bagi inovasi lokal yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.

Adalah celaka jika negara hanya bisa menggunakan tangan yang bersandar pada logika pasar yang melulu melihat hubungan manusia sebagai relasi ekonomi (homo economicus). Sementara negara kerap abai menggunakan tangan yang bersandar pada logika konstitusi, yang melihat hubungan manusia lebih dari sekadar perkara ekonomi dan jual beli. Tangan kedua negara, misalnya, harus bisa bergerak cepat untuk mengatasi problem akar rumput yang memiliki keterbatasan dalam mengakses layanan kesehatan, pendidikan, sandang, pangan, dan papan akibat minimnya daya beli rakyat.

Kenaikan harga BBM adalah indikasi lumpuhnya kepekaan negara terhadap hak-hak kaum miskin yang telah dijamin konstitusi. Harga minyak dunia yang meroket tak bisa dijadikan alibi negara melepaskan tanggung jawab konstitusionalnya kepada golongan miskin. Tak bisa kebijakan yang menyungkurkan kelompok miskin yang mayoritas ini ditempuh demi APBN yang sehat, beban subsidi yang mengecil, atau kinerja ekonomi negara moncer.

Ketika mayoritas rakyat harus menerima kebijakan kenaikan harga BBM, dalam kurun 2005-2012, anggaran belanja birokrasi naik berkali-lipat dari 39,6 persen ke 51,4 persen, sementara anggaran subsidi BBM turun dari 18,8 persen ke 8,7 persen. Dalam perspektif politik anggaran, kebijakan anggaran jenis ini jelas tak berpihak kepada rakyat. Hak rakyat atas bahan bakar murah dikorbankan di atas pesta pora elite, birokrasi korup, dan beragam bentuk penyelewengan anggaran dan inefisiensi yang dilakukan para aktor negara.

Kajian ReforMiner Institute (2012) menunjukkan, kenaikan harga premium dan solar antara Rp 1.000 dan Rp 1.500 per liter akan menyebabkan tambahan inflasi sebesar 1,07 persen dan 1,58 persen. Ditinjau dari perspektif sosial, kenaikan harga BBM akan menjadi amunisi ampuh bagi meningkatnya perlawan politik rakyat yang potensial melahirkan chaos politik. Sementara ditinjau dari sudut politis, kebijakan ini akan kian menjungkirkan kepercayaan publik terhadap negara, melambungkan derajat ketidakpercayaan politik rakyat, dan pada akhirnya dapat memicu instabilitas ekonomi negara.

Negara, yang diisi oleh orang-orang terdidik, seharusnya bisa mencari berbagai alternatif ketimbang opsi menaikkan harga BBM. Pertama, memberantas korupsi dan penyelewengan anggaran di sektor migas dan mengalokasikan untuk hal-hal yang lebih produktif bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rakyat.

Kedua, negara seharusnya mampu menggunakan dana APBN sebesar Rp 1.311 triliun untuk memberi subsidi rakyat sebagai wujud tanggung jawab negara. Negara jangan cuma memikirkan pembayaran cicilan utang dan bunga utang yang kian tahun kian tinggi, namun pada saat yang sama memilih opsi pragmatis ketika dihadapkan pada perkara ekonomi rakyat. Ini membuktikan bahwa pemerintah lebih berpihak pada investor asing dan modal global yang berkepentingan terhadap kenaikkan harga BBM.

Ketiga, anggaran negara harus dikelola secara transparan dan dialokasikan untuk menunjang pembangunan infrastruktur, baik infrastruktur energi maupun non-energi; penyediaan sarana transportasi publik; atau subsidi pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu. Artinya, subsidi BBM tidak semata soal beban APBN, namun yang lebih penting bagaimana pemerintah mampu mengalokasikan APBN yang berfungsi sebagai stimulus perekonomian nasional dan instrumen penyejahteraan.

Keempat, pemerintah harus serius dalam mengembangkan bahan bakar alternatif, seperti gas dan bahan bakar nabati. Sebab, tanpa kebijakan energi yang alternatif yang fokus dan konsisten, maka negeri ini akan terus dilumuri hal yang sama: kenaikan demi kenaikan harga BBM fosil yang terus melukai rasa keadilan publik.

Sebab, Pasal 33 UUD 1945 dengan terang benderang menyatakan, bahwa: bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Rakyat Indonesia tak anti kenaikan BBM. Namun, di tengah kesulitan hidup rakyat saat ini, opsi menaikkan harga BBM adalah sebuah tindakan konyol dan melanggar konstitusi.
Tanpa Kendali

Membiarkan harga BBM ditentukan mekanisme pasar membuat perekonomian berjalan tanpa kendali (restraint). Perekonomian semacam ini bahkan tidak kehendaki Adam Smith—pelopor ekonomi klasik—yang menjadi panutan para pengambil kebijakan di Indonesia.

Dalam satu tulisannya Adam Smith berkata, “seseorang dapat dipercaya untuk meraih kepentingan pribadinya (self interest) tanpa merugikan masyarakat bukan hanya karena batasan-batasan hukum, tetapi juga karena adanya pengendalian diri (self restraint) yang berasal dari moral, agama, kebiasaan, dan pendidikan.”

Adam Smith tetap mendukung perlunya intervensi negara, dan tidak membiarkan perekonomian diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar (invisible hand) yang akan membuat keseimbangan baru (equilibrium). Begitu juga cita-cita para founding fathers ketika merumuskan konstitusi dasar republik ini 66 tahun silam.

Para peserta sarasehan—yang mungkin dulu ada di antaranya terlibat dalam perumusan UU Migas—kemudian berkesimpulan kebijakan pengurangan subsidi yang didorong UU 22/2001 bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 33 Ayat 2 yang berbunyi: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”

Sudah “Disesuaikan”

Namun, mereka agaknya sedikit lupa bahwa Pasal 33 UUD 1945 telah mengalami perubahan (amendemen), termasuk dihapuskan bagian penjelas pada pasal tersebut.
Pengertian kata “dikuasai negara” dengan sederhana ditafsirkan Mahkamah Konstitusi bahwa rakyat secara kolektif memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Artinya, pemerintah hanya sebagai kuasa pertambangan dan regulator sehingga tidak diperbolehkan melakukan usaha investasi hulu dan hilir. Dengan demikian, Pasal UU Migas sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Namun, jika kita merujuk pada dokumen Panitia Keuangan dan Perekonomian, sebuah panitia bentukan BPUPKI yang diketuai Mohammad Hatta, dirumuskan bahwa kata “dikuasai” adalah pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman keselamatan rakyat; semakin besarnya perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya, semakin besar mestinya penyertaan pemerintah; tanah air haruslah di bawah kekuasaan negara; dan perusahaan tambang yang besar dijalankan sebagai usaha negara.

Jelas bahwa yang dimaksud oleh para founding father dalam pasal ini, sektor pertambangan dan perusahaan tambang yang besar harus dikuasai, dikelola, dan dijalankan badan usaha milik negara (BUMN). Namun, tafsir seperti ini tidak berlaku lagi sejak Pasal 33 diamendemen pada 2002.

Sumber :