Kamis, 05 Januari 2012

Prestasi Makro Ekonomi Dianggap tidak Berkualitas

Prestasi makro ekonomi yang ditandai dengan beberapa indikator seperti inflasi dan investasi yang cukup menggembirakan serta pertumbuhan ekonomi Indonesia selama tahun 2011 yang mencapai 6,3% dianggap tidak berkualitas, karena tidak berkorelasi terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat dan perkembangan industri dalam negeri.
Untuk menyelamatkan ekonomi menjelang tahun 2012 yang masih akan digempur krisis Eropa dan Amerika Serikat, pemerintah diharapkan mengeluarkan kebijakan yang lebih berpihak pada industri dalam negeri.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Bambang Suryo Sulisto mengatakan hal itu dalam pemaparan "Catatan Akhir Tahun Menyongsong 2012" yang diselenggarakan KADIN di Hotel JW Marriot, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (28/12).
Kendati pemerintah terus melaporkan penurunan tingkat pengangguran terbuka dan kemiskinan, namun laju pertumbuhan kesempatan kerja masih rendah. Akibatnya pekerja paruh waktu (setengah pengangguran sukarela) dan setengah pengangguran (setengah pengangguran terpaksa) cenderung meningkat.
Jumlah penduduk di sekitar garis kemiskinan juga sangat besar. "Penyakit dan masalah ekonomi Indonesia yaitu pada masalah pengangguran terselubung yang jumlahnya sangat besar, sehingga pemerintah perlu memikirkan kritik bahwa pertumbuhan ekonomi sekarang masih tidak berkualitas," ucapnya.
Pada kesempatan itu, turut hadir seluruh jajaran Kadin Indonesia dan beberapa perwakilan Kadin daerah. Dalam paparannya, Kadin juga melihat bahwa Tahun 2011 ditandai dengan berlanjutnya laju deindustrialisasi yang hanya tumbuh di kisaran 5,9%, padahal pada dekade 1990-an sektor industri dapat tumbuh dua digit.
Salah satu faktor pelemah daya saing industri nasional yaitu tingkat suku bunga bank yang sangat tinggi. Kadin menilai bahwa kebijakan suku bunga Bank Indonesia saat ini masih sangat konservatif kaku sehingga suku bunga pasar yang terbentuk tetap jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat suku bunga di negara-negara lain.
"Dengan demikian, dunia usaha utamanya kecil dan menengah masih tetap belum dapat menikmati perbaikan kondisi eksternal pasar keuangan yang baik pada saat ini. Justru ketika dana melimpah, suku bunga tetap tinggi sehingga dunia usaha tidak dapat memaksimalkan momentum yang baik," ujarnya.
Faktor pelemah daya saing industri nasional lainnya yaitu kebijakan energi yang tidak proindustri sehingga industri nasional selalu mengeluh kekurangan gas. Kebijakan energi justru memberi dukungan dan subsidi kepada industri asing. "Kadin meminta pemerintah agar kewajiban pasokan gas untuk industri nasional dijalankan agar kebutuhan energi untuk industri terpenuhi," katanya.
Selain suku bunga bank dan kebijakan energi, Kadin mendesak pemerintah cerdas memanfaatkan investasi yang masuk. Selama ini banyak terjadi investor gagal berinvestasi karena masalah birokrasi dan ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai.
Padahal, tak sedikit para investor itu sudah mengucurkan dananya namun akhirnya tidak dilanjutkan. Suryo membandingkan proses perizinan industri di Indonesia membutuhkan waktu berbulan-bulan, sementara di negara tetangga di Asia Tenggara dan Asia Timur hanya membutuhkan waktu terbilang hari.
"Jika krisis Eropa terus memburuk dan kinerja pemerintah birokrasi seperti ini terus, maka tahun depan tidak akan lebih baik dari tahun ini, pertumbuhan ekonomi hanya pada kisaran 6,2-6,4%.
Rekomendasi utama Kadin yaitu perlunya menyiapkan kebijakan antisipasi gejolak dan krisis ekonomi dunia dengan cara mendorong investasi dalam negeri dan menciptakan efisiensi dan produktivitas ekonomi dalam negeri untuk meningkatkan daya saing ekspor.
Kedua, pemerintah perlu mengidentifikasi sumber pertumbuhan di antaranya dengan memprioritaskan perkembangan sektor yang tradeable, utamanya sektor industri yang lebih fokus pada tiga sub sektor yaitu perhubungan dan komunikasi, perdagangan, dahotel dan restoran, serta konstruksi.
Wakil Ketua Umum Kadin bidang Infrastruktur Zulkarnaen menambahkan bahwa pembangunan infrastruktur di enam koridor yang diluncurkan pemerintah melalui Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tidak berjalan baik karena hambatan birokrasi. "Jika sampai 2015 keadaannya masih seperti ini, maka kita hanya akan jadi hilir," ucapnya.
Ia mencontohkan rendahnya daya dukung infrastruktur kita dengan merunut jumlah pelabuhan yang hanya 100 buah dengan panjang garis pantai Indonesia yang mencapai 95.181 kilometer. Itu berarti hanya tersedia satu pelabuhan untuk kurang lebih 1000 kilometer garis pantai. Sementara, Thailand saja memiliki satu pelabuhan untuk setiap 50 kilometer.
Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/node/171105


Tidak ada komentar:

Posting Komentar